Selama SMA mereka pacaran. Setahun menikah menjadi transmigran. Ulang tahun ke-56 akhir pengabdian.
Inova berwarna hitam itu nampak teronggok kaku di seberang rumah bercat hijau di kawasan Jalur Tiga, Kampung (Desa) Teluk Merbau, Kecamatan Dayun, Kabupaten Siak, Riau, kemarin.
Mobil bekas itu belum lama dibeli Setiyono. Bagian dalamnya kemudian sengaja dipermak layaknya kabin mobil ambulance.
Biar Sugiarti nyaman saat dua kali seminggu diantar ke Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Tengku Rafi’an Siak untuk menjalani hemodialisa (cuci darah).
Sebab sejak empat bulan lalu, dokter telah memutuskan begitu, persis setelah belahan jiwanya yang menderita diabetes dan ginjal ini, terjatuh dan mengalami gangguan saraf.
Alasan berikutnya kenapa Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (ASPEK-PIR) ini membeli mobil itu, lantaran enggak enak hati bila musti tiap pekan meminjam ambulance milik kampung.
Singkat cerita, beberapa hari lalu, menjadi kali pertama Sugiarti diantar pakai Inova itu ke RSUD Tengku Rafi’an. Setiyono sendiri yang menyetiri.
Beres menjalani hemodialisa, ibu tiga anak ini dibawa ke ruang perawatan. Anak-anaknya dan kerabat pun berdatangan ke sana untuk membikin ‘kejutan’ lantaran tanggal 10 Mei 2024, Sugiarti ulang tahun yang ke-56. Semuanya berjalan mulus.
Tapi malamnya, giliran Sugiarti pula yang membikin kejutan. Kesehatannya ngedrop. Suasana kalut sontak memenuhi seisi kamar.
Semakin malam, kesehatan Sugiarti makin memburuk, hingga sekitar pukul 21:20 wib, dokter menyatakan kalau Sugiarti sudah tiada. Tangisan pun pecah.
Setiyono sontak memeluk tubuh yang sudah tak bernyawa itu. Air matanya meleleh. “Itu kali pertama dia saya antar pakai Inova itu dan ternyata, itu pula kali terakhir,” suara lelaki ini bergetar sambil kembali menatap mobil hitam itu.
Matanya masih berkaca-kaca saat berbincang dengan elaeis.co kemarin, di bawah tenda yang sengaja dipasang di depan rumah bercat hijau tadi.
Entah kenapa kemudian, pikiran lelaki ini terbang ke masa-masa dulu. Masa dia pertama kali jatuh cinta kepada Sugiarti, saat masih sama-sama kelas satu di SMA Harapan, Kediri Jawa Timur. Kebetulan keduanya satu kelas.
Uniknya, keduanya tidak sekampung. Setiyono tinggal di Desa Janti, Kecamatan Wates. Sementara Sugiarti di Desa Jagul, Kecamatan Ngancar.
“Kami pacaran hingga selepas SMA, persis tahun 1988, saya meminangnya,” kenang anak keempat dari enam bersaudara ini sambil membolak balik album foto yang masih tersimpan rapi.
Meski sebahagian sudah rusak dimakan usia, foto masa Sugiarti masih memakai seragam SMA, foto saat mereka berdua mejeng di salah satu sudut Candi Borobudur, hingga foto pernikahan, masih ada. Dilaminating.
Setahun setelah menikah dan punya momongan anak pertama, Setiyono mengajak Sugiarti ikut transmigrasi. Perempuan cantik ini manut.
Dapat lampu hijau dari sang istri, Setiyono memberanikan diri pamit kepada mertuanya untuk memboyong Sugiarti ikut transmigrasi ke Kalimantan.
Sayang, mertuanya justru langsung ngedrop mendengar kata-kata itu. “Ngapain jauh-jauh? Emangnya Bapak enggak bisa ngasi kalian makan di sini?” kata sang mertua yang kebetulan termasuk orang berada di kampung itu.
Menengok kondisi mertuanya seperti itu, Setiyono tak tega. Dia mengurungkan niatnya. Tapi saat ada kesempatan transmigrasi ke Sumatera, Setiyono mendaftar lagi. Kali ini dia tak memberi tahu dulu mertuanya.
“Sehari kami akan berangkat, baru saya kasi tahu, alhamdulillah mertua enggak kenapa-kenapa dan mengijinkan kami berangkat” ujarnya.
Desember 1989, perjalanan itu dimulai. Setiyono bersama istri dan anaknya berbaur dengan 159 kepala keluarga lainnya di lambung kapal barang ‘Krakatau’ hingga seminggu kemudian tiba di Pelabuhan Dumai.
“Dulu kampung ini masih UPT 7, Afdeling 8. Dulu belum PTPN V, tapi masih PTPN II,” cerita Sugiatna, orang Kulon Progo, Yogyakarta.
Lelaki 56 tahun ini teman seangkatan Setiyono saat berangkat transmigrasi. Warga Jalur Satu ini sengaja datang melayat.
Setiyono yang duduk di sampingnya menarik napas panjang. “Almarhumah sangat baik kepada saya, penurut, enggak pernah marah, pengabdiannya sebagai istri, sangat luar biasa,” katanya.
Mengingat semua itulah makanya, selama Sugiarti sakit, Setiyono tak pernah mau jauh. “Sebagai kenangan terakhir, saya sengaja menyetir sendiri, mengantarkan ke makam dan saya yang kemudian menurunkan ke liang lahat,” kembali mata lelaki ini berkaca-kaca.
Matanya kemudian menatap jauh, menembus silau terik matahari yang telah merangkak siang.
Di sana, di pemakaman kampung Teluk Merbau itu, onggokan tanah kuning masih terlihat basah, Sugiarti, telah tenang di sana. Sumber, elaeis.co