Banda Aceh – Forbina menjawab ketertarikan tiga investor yang ingin membangun pabrik kelapa sawit di Aceh dengan sejumlah catatan kritis. Menurut Ketua Forbina Muhammad Nur, rencana ini bukan sekadar soal pendirian pabrik, tetapi tentang kelayakan pasar dan distribusi produk yang dihasilkan.
Mereka memahami kesiapan pasar, terutama terkait persaingan dengan pabrik-pabrik pengolahan di Medan dan Jakarta, yang selama ini menjadi pusat industri sawit. “Kami ingin tahu apakah pemerintah Aceh memiliki data terkait kontrak-kontrak yang berjalan antara pabrik kelapa sawit (PKS) di Aceh dan pabrik pengolahan di Medan atau Jakarta.
Data ini penting untuk memastikan kelangsungan pasar dan menghindari persaingan yang merugikan,” ujar M Nur. Di Aceh, tercatat terdapat 54 PKS yang tersebar di beberapa kabupaten/kota.
Namun, Forbina menilai pemerintah perlu lebih transparan mengenai data masa berlaku kontrak, volume Minyak Sawit Mentah (CPO) yang dikontrak, serta apakah pasar lokal yang hanya berjumlah sekitar 5 juta jiwa akan cukup untuk menyerap produk dari pabrik baru.
Forbina juga memahami kesiapan PT PEMA, badan usaha milik daerah, yang ditugaskan mengelola sektor ini. Mereka membayangkan apakah PT PEMA memiliki modal yang mampu dan kebijakan bisnis yang kuat untuk mengelola pabrik sawit, atau hanya bertindak sebagai agen tanpa koordinasi yang matang dengan strategi DPRA dan pihak-pihak.
Menurut Forbina, tanpa persiapan matang, kebijakan risiko korupsi dan anggaran bisa mengemuka. Selain itu, terkait harga sawit, Forbina menekankan pentingnya komitmen terkait perlindungan dan harga beli buah sawit bagi petani.
Dengan kondisi pasar global yang menentukan harga, diperlukan komitmen yang kuat agar harga sawit tetap stabil dan tidak merugikan petani lokal. Tanpa kepastian harga yang menguntungkan, Forbina khawatir pendirian pabrik hanya akan menambah beban bagi petani. (habanusantara.net)