JAKARTA-Harga minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil/CPO) naik di sesi awal perdagangan Selasa (20/12/2022). Artinya harga CPO telah menguat selama tiga hari beruntun.
Melansir Refinitiv, cnbc Indonesia menulis bahwa harga CPO pada sesi awal perdagangan naik 0,89% ke MYR 3.964/ton pada pukul 07:57 WIB. Dengan begitu, harga CPO melesat 2,01% dalam sepekan secara point to point dan naik tajam 2,83% secara bulanan. Namun, harga CPO masih ambles 9,58% secara tahunan.
Pada awal pekan ini (19/12/2022), harga CPO di Bursa Malaysia Exchange berakhir naik tipis 0,36% menjadi MYR 3.932/ton atau setara dengan US$ 889,19/ton. Harga CPO didukung oleh banjir yang terjadi di Malaysia.
Wajar saja, Malaysia merupakan produsen CPO terbesar di dunia setelah Indonesia, sehingga ketika banjir terjadi akan meningkatkan potensi penurunan produksi CPO. Akibatnya harga CPO pun naik.
“Pasar kuat, dengan laporan banjir di banyak bagian Malaysia dan juga pada pandangan bullish analis terkemuka di pasar,” kata Manajer Perdagangan di perusahaan perdagangan Kantilal Laxmichand & Co yang berbasis di Mumbai Mitesh Saiya dikutip Reuters.
Namun, harga CPO naik terbatasi oleh sentimen kurang baik dari importir terbesar CPO kedua yakni China. Adanya peningkatan pada penyebaran virus Covid meningkatkan penurunan permintaan CPO.
Pada Senin (19/12/2022) untuk pertama kalinya China melaporkan kematian akibat Covid-19 pasca melonggarkan kebijakan terkait virus ini, 3 Desember 2022. Reuters melaporkan mobil jenazah berbaris di luar krematorium Covid-19 yang ditunjuk di Beijing, di mana para pekerja dengan pakaian hazmat membawa jenazah ke dalam fasilitas tersebut. Sayangnya, Reuters tidak dapat segera memastikan apakah kematian itu karena Covid-19 atau bukan.
Studi terbaru bahkan menunjukkan kasus kematian di China bisa mencapai satu juta lebih dalam beberapa bulan ke depan. Kenaikan harga CPO juga terbatasi oleh ekspor minyak kelapa sawit Malaysia yang lesu.
“Ekspor minyak sawit Malaysia ke tujuan utama mungkin akan terhenti setelah mengalami pengiriman yang kuat di bulan sebelumnya. Selain itu, produksi minyak sawit yang lebih rendah sebagian menyebabkan penurunan ekspor,” tulis Refinitiv Agriculture Research dalam sebuah catatan.