Jakarta-Penurunan harga CPO yang terjadi saat ini sudah diprediksi oleh Bank Dunia. “Mereka secara serius memantau data harga komoditas sejak tahun 1970 , bukan baru sekarang dan diproyeksikan sekian puluh tahun ke depan. Proyeksinya ternyata benar sekarang terjadi,” kata Agus Pakpahan, Ketua Badan Eksekutif Gapperindo (Gabungan Asosiasi Petani Perkebunan Indonesia).
Masalahnya di Indonesia baik pelaku ekonomi maupun pengambil kebijakan tidak sensitif terhadap informasi harga ini, apalagi petani. Petani memperlakukan tanaman maupun ternak sebagai tabungan atau income sehingga tidak berorientasi keuntungan. Sedang perusahaan sangat berorientasi keuntungan sehingga masalah harga ini sangat diperhatikan.
Masalahnya informasi seperti ini kurang diperhatikan oleh pemerintah juga pelaku usaha, seolah-olah kedepan tidak ada masalah, sehingga penanaman dan replanting berjalan terus tanpa memperhitungkan harga ke depan.
Korporasi sawit terus berkembang dan minta tambahan lahan padahal harga sawit terus turun. Ada faktor x kenapa hal ini terjadi, pemerintah harus sensitif terhadap fenomena ini sebab korporasi akan mendapat keuntungan besar kalau menguasai tanah. Mereka jadi pemburu rente.
Penguasaan tanah pasti untung sebab supply tetap tetapi permintaan tinggi. Karena menguasai tanah mereka berpikir kapan bagus untuk property, kapan bisa dijual sehingga tidak berpikir membangun industri hilir. Petani dirugikan kalau industri hilir tidak berkembang sebab kehilangan kesempatan mendapatkan nilai tambah.
Kebijakan moratorium perizinan oleh pemerintah sangat bagus, paling tidak menyadarkan pemburu rente mengalah dulu. “Sekarang petani sedang menjerit maka harus dibuat kebijakan yang pas jangan kita tahu jalan sedang menurun malah injak gas nanti masuk jurang,” katanya.
Anggap saja asumsi Bank Dunia benar bahwa harga CPO tahun 2030 akan sama seperti sekarang padahal biaya produksi pasti naik. Paling gampang adalah penyesuaian teknis budidaya dengan diversifikasi seperti sawit sapi, intercroping dengan tanaman lain.