Saya mencoba memberanikan diri menuangkan pemikiran tentang eksistensi dan keberlanjutan perkebunan kelapa sawit ini, setelah membaca artikel di kompas. Tulisan Guru Besar Universitas Bengkulu, Profesor Andi Irawan, pada 9 Agustus 2023 betjudul “Implikasi Pemutihan 3,3 Juta Hektar Lahan Sawit” ini bagus sebagai penuangan pemikiran akademisi, apalagi seorang guru besar, tetapi tulisan itu dapat memberikan pemahaman dan pelabelan yang kurang tepat terhadap persoalan perkebunan kelapa sawit.
Tulisan Profesor Andi Irawan itu adalah bentuk penggiringan opini dan kampanye negatif terhadap komoditas sawit. Menggiring opini bahwa usaha “Pemutihan” yang dilakukan pemerintah adalah sebuah perbuatan tercela dan salah. Padahal niat pemerintah dalam hal ini sangat baik yaitu untuk merapikan Tata Kelola Sawit yang selama puluhan tahun ini semrawut.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, arti dari pemutihan adalah proses, cara, perbuatan memutihkan. Putih dalam konteks ini jelas, pemerintah berusaha untuk memperbaiki atau menjadikan tata kelola sawit menjadi lebih baik. Menjadikan status lahan petani yang sudah menjadi miliknya sejak puluhan tahun bahkan beberapa generasi menjadi jelas dan terang benderang.
Pada tulisan Andi Irawan ini, seakan pemerintah sudah menetapkan langkah tentang “pemutihan” itu. Padahal, saya, pekebun kelapa sawit sejak era 80an, belum pernah mendengar pemerintah (akan) menerapkan pemutihan tersebut.
Kesan yang timbul dari tulisan tersebut sangat negatif, pemerintah seakan-akan memihak pada penjahat atau komplotan penyamun. Padahal kami petani dan bahkan perusahaan mitra kami adalah korban. Korban dari sengkarut dan semrawut tata kelola sawit yang sudah berjalan puluhan tahun. Usaha pemerintah tersebut tidak dilihat sebagai suatu niat baik untuk berpihak pada petani yang posisinya sebagai korban dari kebijakan yang tidak terkoordinasi secara baik. Usaha ini adalah harmonisasi kebijakan, baik peraturan maupun perundang-undangan. Sehingga petani dan mungkin investor akan tentunya yang menghadapi kepastian hukum dalam berinvestasi dan berusaha dan ini komitmen Presiden Jokowi sejak pertama kali menjabat.
Sudah bukan rahasia umum, bahwa terdapat banyak lahan sawit petani yang ternyata dimasukkan (ditunjuk) dalam kawasan hutan melalui proses verifikasi di atas meja saja. Padahal mereka sudah menguasai dan menanam di lahan tersebut bertahun-tahun sebagai lahan pemberian pemerintah dalam program yang bernama transmigrasi.
Banyak juga lahan tersebut telah memiliki Sertifikat Hak MilIK (SHM) yang mereka dapat dari program transmigrasi yang bahkan dari tahun 1970an. Belakangan status kawasan hutan yang menimpa lahan petani menjadi penghambat proses Peremajaan Sawit Rakyat dikarenakan salah satu syarat pengajuan dana hibah Badan Pengelola Dana Perkebunan – Kelapa Sawit (BPDP-KS) adalah diluar kawasan hutan.
Sejarah awal transmigrasi.
Transmigrasi sejatinya telah ada sejak jaman kolonial Belanda yang bertujuan untuk tenaga perkebunan kolonial yang membawa tenaga dari Jawa untuk diperkerjakan di perkebunan di Sumatera. Pasca kemerdekaan dilanjutkan oleh Presiden Soekarno dan puncaknya di era Presiden Soeharto.
Program transmigrasi tahun 70an ini dibiayai oleh Bank Dunia, awalnya memberikan bantuan kepada 7 Perusahaan Perkebunan Negara pada tahun 1969-1972. Kemudian ada, Pola Unit Pelayanan Pengembangan yang menyasar pada petani yang tidak memiliki kemampuan mengelola kebunnya diberikan bantuan. Kemudian Pada tahun 1980an ada penandatanganan perjanjian pinjaman antara Pemerintah Indonesia dengan Bank Dunia untuk mengembangkan konsep pembangunan perkebunan yang dinamakan Nucleous Estate and Smallholders (NES) atau dalam bahasa Indonesia disebut Perkebunan Inti Rakyat atau biasa disingkat PIR dan Proyek Pengembangan Teh Rakyat dan Perkebunan Swasta Nasional (P2TRSN). Untuk program PIR I dilakukan pada tahun 1977 untuk pengembangan karet di Aloimerah, Aceh dan Tebenan, Sumatra Selatan. Sedangkan proyek NES untuk pengembangan perkebunan kelapa sawit baru dimulai sekitar awal tahun 80-an, yaitu proyek NES IV Betumg.
Program PIR ada juga yang bersamaan dengan Program Transmigrasi yang mendatangkan penduduk dari Pulau Jawa dan Bali. Tujuan program transmigrasi ini bertujuan untuk mengurangi kepadatan dan pengentasan kemiskinan di pulau Jawa dan Bali. Program ini biasanya memberikan pesertanya lahan untuk usaha, lahan pekarangan dan lahan pemukiman. Semuanya diberikan secara gratis oleh negara pada para peserta.
Bukan Lahan Ilegal
Lahan petani yang masuk dalam kawasan hutan bukanlah lahan yang baru kemarin dibuka dari membuka hutan tetapi kebanyakan adalah lahan pemberian pemerintah dari program PIR-Trans, PIR-Bun, PIR KKPA ataupun lahan yang sudah turun temurun selama puluhan tahun dimiliki oleh petani, bahkan banyak telah memiliki Sertipikat Hak Milik (SHM) atas lahan tersebut.
Untuk itu, jika disebutkan bahwa lahan yang kami miliki adalah lahan illegal, sangatlah tidak masuk akal. Lahan yang didapatkan dari program pemerintah dan bahkan telah ber SHM apakah dapat begitu saja dikatakan sebagai lahan illegal? Apakah SHM sebagai produk dari negara dapat diabaikan begitu saja dan tidak diakui sebagai legal standing ?. Bahkan banyak kejadian, tahun terbit SHM, jauh lebih dahulu ketimbang SK penunjukan atau penetapan kawasan hutan. Jika kondisinya seperti itu bahkan dapat dikatakan, bukan lahan kami masuk kawasan hutan tetapi kawasan hutan masuk kedalam lahan kami karena tahun terbit SHM kami lebih dulu (bahkan puluhan tahun ) sebelum SK penetapan kawasan terbit.
Pelabelan “lahan illegal” terhadap lahan petani dalam kawasan atau kawasan dalam lahan petani perlu dihindari, karena ini bukannlah kesalahan petani tetapi sistem, regulasi dan koordinasi antar Kementerian atau Lembaga yang tidak berjalan baik. Petani saat ini posisinya sebagai korban dari carut marutnya birokrasi dan koordinasi antar kementerian dan lembaga tersebut. Keterlanjuran yang paling tepat untuk mengatakan kondisi saat ini. Kejadian lahan petani dalam kawasan atau kawasan dalam lahan petani bukanlah suatu tindak pidana apalagi tindak pidana korupsi, itu adalah persoalan administrasi. Satu hal yang perlu diingat, dulu pernah ada kementerian yang bernama Departemen (Kementerian) Transmigrasi dan Pemukiman Perambah Hutan.
Komitmen Pemerintah Jokowi untuk mensejahterakan Petani
Keputusan Presiden Nomor 9 Tahun 2023 tentang Satuan Tugas Peningkatan Tata Kelola Industri Kelapa Sawit dan Optimalisasi Penerimaan Negara adalah salah satu hal yang paling ditunggu-tunggu petani. Semenjak disahkannya UU No. 11 tahun 2020 tentang Cipta kerja kemudian Perpu 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja hingga pada penegasannya melalui Undang-undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang, realisasi terhadap Pasal 110 A dan 110 B belum ada sama sekali.
Dengan adanya Satgas Sawit ini diharapkan koordinasi antar Kementerian dan Lembaga dapat berjalan lebih lancar sehingga realisasi terhadap Pasal 110 A dan 110 B dapat segera terwujud. Hal itu sesuai dengan pernyataan Pak Luhut usai konferensi pers di kantornya “Ya (diputihkan). Mau kita apa kan lagi? Masa mau kita mau copot (tanamannya). Ya pakai logika saja, kita putihkan terpaksa,”.
Selain itu Pak Luhut dalam konferensi persnya sudah meminta agar Satgas ini dapat mempercepat proses pelepasan kawasan bagi lahan petani didalam kawasan. Hal ini juga betujuan agar proses peningkatan produktifitas lahan petani melalui Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dapat segera terwujud. Dengan petani dapat mengikuti Program PSR, otomatis kebun-kebun yang sudah tua dan kebun yang tidak produktif karena bibitnya tidak unggul maka dapat mendapatkan dana hibah BPDP-KS. Dengan mendapatkan dana hibah BPDP-KS petani dapat berkurang beban pembangunan kebunnya dan kebunnya dapat ditanami kembali dengan bibit unggul bersertifikat sehingga produktifitas lahan petani dapat meningkat dengan pesat. Jelas, keberadaan Satgas ini adalah bentuk komitmen dan keseriusan pemerintahan Jokowi dalam meningkatkan kesejahteran petani.
Kami petani sangat berharap agar lahan petani yang SHM di keluarkan dari kawasan hutan karena areal adalah pemberian pemerintah saat awal pembangunan proyek PIR, sehingga dalam hal ini kami adalah korban dan tidak ada koordinasi yang baik antar instansi pemerintah yang dibiarkan Semrawut selama puluhan tahun.
Dengan rendah hati, tulisan ini hanya lah penyeimbang pemikiran dari seorang petani yang menghadapi persoalan ketidakpastian status lahan kebun kelapa sawit, yang semestinya tidak sulit penyelesaiannya oleh pemerintah.
Penulis Setiyono
Ketua Umum Aspekpir Indonesia.