JAKARTA – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dipandang perlu mempermanenkan kebijakan penghentian pemberian izin atau moratorium perkebunan kelapa sawit yang dicetuskan pemerintah Joko Widodo.
Perbaikan tata kelola sekaligus transparansi data tentang sawit akan berdampak baik bagi ekonomi dan lingkungan.
Hal tersebut disampaikan perwakilan organisasi masyarakat sipil yang tergabung dalam Koalisi Moratorium Sawit saat peluncuran kertas kebijakan bertajuk “Menghentikan Pemberian Izin Sawit (Perspektif Ekonomi dan Lingkungan): Gagasan Perbaikan Tata Kelola Sawit Bagi Kabinet Merah Putih Prabowo-Gibran” di Jakarta, Rabu (6/11/2024).
Guna mendorong pemerintah untuk segera memperbaiki tata kelola sawit, Koalisi Moratorium Sawit mendesak pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan penghentian pemberian izin dalam perspektif ekonomi dan daya dukung daya tampung lingkungan hidup.
“Moratorium sawit sangat penting karena mencakup aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan.
Kami menyarankan agar Presiden Prabowo bisa memperpanjang atau membuat peraturan presiden baru untuk dilakukan moratorium sawit secara permanen,” kata Direktur Sawit Watch Achmad Surambo.
Surambo menyebut, kebijakan moratorium sawit secara permanen memiliki dampak yang baik untuk aspek ekonomi dan lingkungan.
Dari aspek ekonomi, moratorium sawit dan upaya replanting atau peremajaan kelapa sawit akan memberikan dampak positif bagi produk domestik bruto (PDB), penerimaan negara, dan serapan kerja.
Dari hasil analisis Center of Economic and Law Studies (Celios), skenario moratorium dan peremajaan kelapa sawit yang dilakukan bersamaan akan memberikan output terhadap PDB sebesar Rp 30,5 triliun dan menyerap 827.000 tenaga kerja selama periode estimasi.
Sementara skenario ekspansi sawit tanpa moratorium menghasilkan output PDB negatif Rp 30,4 triliun dan hanya mampu menciptakan 268.000 tenaga kerja pada periode yang sama.
Moratorium permanen juga bisa berdampak positif untuk lingkungan. Sebab, lahan sawit saat ini telah mendekati ambang batas atas perkebunan yang ideal bagi daya dukung dan daya tampung lingkungan.
Luas perkebunan sawit yang melewati ambang batas akan menurunkan kualitas lingkungan hingga berpotensi menyebabkan bencana alam.
Ketua Yayasan Lokahita Jesika Taradini mengatakan, dari hasil penghitungan dan analisis Lokahita, nilai batas atas (cap) tutupan perkebunan sawit berdasarkan perspektif daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup di Indonesia mencapai 18,15 juta hektar.
Sementara berdasarkan pemutakhiran data dari Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Kementerian Pertanian pada 2023, luas perkebunan sawit di Indonesia telah mencapai 17,3 juta hektar.
Artinya, luas perkebunan sawit di Indonesia hampir mencapai batas atas.
“Sebagian dari lahan sawit eksisting tidak dapat diperluas karena lokasinya berada di wilayah dengan variabel pembatas seperti kawasan konservasi.
Kondisi ini juga harus menjadi pertimbangan dalam perencanaan tata kelola sawit agar berkelanjutan.
Hasil penelitian ini bisa menjadi acuan dalam pembatasan ekspansi perkebunan sawit,” tutur Jesika. (kompas.id).