Jakarta-Pola kemitraan antara petani sawit dengan perusahaan perkebunan (inti plasma) sangat stretegis sehingga diharapkan dapat terjalin dengan baik kembali. Dengan kemitraan tersebut, petani sawit akan memperoleh banyak kemudahan, termasuk dalam melaksanakan program peremajaan sawit rakyat (PSR).
Pentingnya kemitraan ini ditegaskan Ketua Umum Asosiasi Petani Kelapa Sawit Perusahaan Inti Rakyat (ASPEKPIR), Setiyono, dalam pengantarnya pada Seminar dan Rakernas ASPEKPIR Indonesia Tahun 2025 bertema “Memperkuat Kemitraan Inti-Plasma Petani Sawit Plasma dalam Mendukung Terwujudnya Ketahanan Pangan, Energi, dan Hilirisasi Menuju Indonesia Emas 2045”.
Menurut Setiyono, industri sawit memerlukan kemitraan yang saling menguntungkan. “Sebab, tanpa kemitraan, petani (sawit) akan menghadapi banyak masalah, salah satunya adalah tidak adanya jaminan harga,” ucapnya dalam acara yang berlangsung di Gedung D Kantor Kementerian Pertanian, Jakarta, Selasa, 29 April 2025.
Sebagai petinggi ASPEKPIR yang merasakan betul manfaat program PIR selama ini, Setiyono pun menilai pola kemitraan PIR dapat dijadikan sebagai percontohan nasional karena terbukti mampu meningkatkan kesejahteraan petani sawit.

“Sebelumnya kita tidak punya apa-apa, dengan mengikuti program PIR, nasib kami menjadi lebih baik dan sejahtera,” katanya lagi. Ia meyakini pula, pola kemitraan akan mampu mendorong percepatan PSR.
Tak bisa dipungkiri, pola kemitraan berperan penting dalam percepatan PSR dan juga dalam pengusahaan kebunnya. Dengan bermitra, petani sawit dapat memperoleh akses bantuan dana dari Badan Pengelola Dana Perkebunan atau BPDP (sebelumnya bernama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit, BPDPKS).
Dengan bermitra, petani sawit mendapat bimbingan teknis dan pendampingan yang memungkinkan menerapkan good agricultural practices (GAP) dalam budidaya kelapa sawit, sehingga produktivitasnya bisa meningkat.
Pada kesempatan itu, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Eddy Martono yang tampil sebagai pembicara, menyambut baik tekad ASPEKPIR tersebut. Ia sepakat perlunya terjalin kemitraan, terlebih dalam konteks mendorong percepatan PSR. Saat ini tercatat sekitar 513.000 hektare lahan milik petani sawit yang bermitra dengan anggota GAPKI.
“Kemitraan sangat penting, PSR sangat penting,” kata Eddy Martono. Apalagi, lanjutnya, mengingat kondisi produksi sawit saat ini yang kurang menggembirakan, dimana produksi CPO stagnan, hanya sekitar 50 juta ton, sedangkan konsumsi terus meningkat.
Ia menyebut, pada 2024, konsumsi minyak sawit mencapai 45,2% dari produksi. Sementara itu kebutuhan minyak sawit untuk biodiesel juga terus meningkat tajam. Pada 2024 tercatat menghabiskan 11,6 juta ton, sudah melebihi konsumsi untuk pangan yang sebesar 10,2 juta ton.
“Kalau tidak cepat mendorong PSR , ini bahaya. Konsumsi naik, produksi stagnan. Sementara kita butuh devisa untuk memberi insentif biodiesel, dan PSR. Nah, ini dari mana dananya?” ujar Eddy dengan nada prihatin. Sejauh ini, laju PSR memang masih kurang menggembirakan. Dari target 180.000 hektare per tahun, baru mencapai kurang dari 30%.

Bahkan kendati dana bantuan PSR telah dinaikkan per September tahun lalu menjadi Rp 60 juta per hektare dari sebelumnya hanya Rp 30 juta per hektare, dan target diturunkan menjadi 120.000 hektare per tahun, toh belum mencapai target juga.
Data dari BPDP menyebutkan, tahun 2024 hanya mencapai 38.244 hektare. Sedangkan triwulan pertama 2025 ini baru mencapai 11.777 hektare. Tampaknya masih akan sulit untuk mencapai angka 120.000 hektare sampai akhir tahun nanti.
Kendalanya, seperti terungkap dalam seminar, selain persoalan teknis dan administrasi yang menyebabkan dana PSR tidak turun, juga kendala “internal” petani itu sendiri.
Meski pohon sawit sudah pada tua, lebih dari 25 tahun dan kurang produktif, toh para petani masih enggan menumbangkannya karena merasa masih bisa menghasilkan. Apalagi harga sawit sedang tinggi, manalah mau mereka menumbangkannya. Apaboleh buat. Aji.