JAKARTA-Rapat Kerja Nasional (Rakernas) Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) sudah usai kemarin. Pada helat yang digelar di The Alana Yogyakarta Hotel & Convention Center, Yogyakarta itu diputuskan bahwa fokus GAPKI tahun ini adalah menggenjot Program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR).
Ini selaras dengan tajuk Rakernas yang berlangsung pada 14-15 Juli 2023 itu; Penguatan Kemitraan dan Percepatan PSR untuk Ketahanan Pangan dan Energi, Demi Kestabilan Domestik dan Internasional.
Dikutip dari situs berita elaeis.co, Ketua Umum GAPKI Eddy Martono mengatakan fokus itu tidak serta merta muncul pada Rakernas, tapi sudah sejak awal tahun ini.
Produksi minyak sawit yang terus melorot sejak empat tahun belakangan, menjadi musababnya. Tengok sajalah angka-angka di bawah ini. Di tahun 2019, produksi minyak sawit nasional masih 47,18 juta ton. Setahun kemudian menjadi 47,03 juta ton, 2021 46,89 juta ton dan tahun 2022 46,73 juta ton.
“Data terakhir, konsumsi sawit nasional sudah di angka 21 juta ton. Dan ini akan terus naik. Kalau produksi enggak kita genjot, pemenuhan kebutuhan dalam negeri bakal kurang. Biar ini tertutupi, tentu ekspor akan dikorbankan. Kalau ekspor dikorbankan, devisa akan terganggu,” lelaki 61 tahun ini mengurai.
Nah, sejak 2016, sudah ada program PSR. Program ini sangat prospektif. Sebab menyasar sekitar 2,7 juta hektar perkebunan sawit rakyat. Hanya saja, sejak berjalan sampai sekarang, program ini justru berjalan tertatih. “Tahun ini target PSR 180 ribu hektar. Melalui skema rekomtek 80 ribu hektar, sisanya skema kemitraan dengan perusahaan,” katanya.
Saat ini kata Eddy, ada sekitar 200 ribu hektar kebun plasma yang siap untuk diremajakan. Tapi lantaran waktu yang tersisa di tahun ini hanya sekitar lima bulan, enggak mungkin semuanya bisa langsung diremajakan.
Tak hanya produktivitas di dalam negeri sebenarnya yang menjadi tantangan. GAPKI menengok, European Union Deforestation Regulation (EUDR) atau undang-undang anto deforestasi yang sudah disahkan April lalu, juga menjadi masalah.
Meski baru akan berlaku 18 bulan setelah disahkan, proses menuju tenggat berlakunya itu kata Eddy akan dikawal.
“Ekspor minyak sawit ke Eropa memang hanya sekitar 3,5 juta ton. Tapi yang kemudian akan menjadi masalah ketika negara lain juga ikut-ikutan memberlakukan aturan seperti EUDR itu,” ujarnya.
Terkait EUDR ini, sebelumnya Sekretaris Jenderal Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC), Rizal Affandi Lukman meminta agar pelaku sawit menyikapinya biasa saja.
“Kalau dibilang EUDR itu enggak berdampak, ya pasti berdampak. Tapi pengaruhnya enggak heboh-heboh amatlah. Disikapi saja secara terukur dan membuktikan bahwa sertifikasi nasional yang sudah ada seperti ISPO dan MSPO sudah mengcover beberapa hal yang dipersyaratkan EUDR. Jangan terlalu disikapi berlebihan. Jangan gara-gara itu seolah dunia akan runtuh,” pintanya.
Lagi pula kata Rizal, Eropa Union bersama Indonesia dan Malaysia sudah membentuk Joint Task Force (JTF). Di JTF itu akan dibahas berbagai persoalan yang timbul akibat persyaratan EUDR yang harus dipenuhi oleh pihak eksportir. Salah satunya adalah aturan ketertelusuran.
“Pertemuan pertama JTF akan digelar pekan pertama bulan depan. Cocoa, kopi, karet dan kayu juga akan dibahas,” katanya.