JAKARTA – Kinerja emiten produsen sawit berpotensi moncer seiring harga minyak kelapa sawit atau crude palm oil (CPO) yang diperkirakan tumbuh lebih tinggi pada 2025 mendatang.
Merujuk situs Trading Economics, harga CPO di pasar global melesat 39,32% dalam sebulan terakhir atau month to month (MtM) ke level RM 5.184 per ton pada Senin (11/11).
Dalam setahun terakhir, harga CPO telah naik 32,79% year on year (YoY).
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, tren kenaikan harga CPO di pasar global diprediksi akan terus berlanjut setidaknya sampai kuartal I-2025 nanti. “Kemungkinan harga CPO tetap di level yang tinggi di kisaran RM 5.000 per ton,” kata dia, Senin (11/11).
Peningkatan harga ini tak lepas dari tingginya kebutuhan CPO di kala suplai komoditas tersebut yang cukup ketat. Asal tahu saja, pemerintah akan menggulirkan program biodiesel B40 mulai Januari 2024.
Di sisi lain, produksi CPO nasional sedang dalam tren melambat seiring aktivitas agronomis sepanjang 2022 dan 2023 akibat minimnya pemupukan dan faktor perubahan iklim. Dalam berita sebelumnya, Gapki memproyeksikan produksi CPO di dalam negeri turun sekitar 5% pada 2024.
Di atas kertas, kenaikan harga CPO dapat menjadi momentum bagi para produsen sawit untuk mendongkrak kinerja keuangannya. Namun, Gapki menilai bahwa para produsen sebenarnya menginginkan harga CPO yang relatif stabil.
Jika harga CPO terus-terusan melambung, risikonya juga cukup besar. Misalnya, harga minyak goreng juga bisa ikut melonjak, sehingga berpotensi mengerek inflasi.
Dalam konteks implementasi B40, kenaikan harga CPO tanpa terkendali juga kurang baik jika dibarengi oleh penurunan harga minyak mentah. Akibatnya, dana insentif untuk B40 membengkak karena selisih harga CPO dan minyak mentah terlalu lebar. Hal ini dapat mengganggu pos insentif untuk kegiatan peremajaan sawit rakyat.
Sementara itu, PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) berharap potensi kenaikan harga CPO akan mendorong peningkatan kinerja keuangan perusahaan. Apalagi, penjualan CPO berkontribusi sekitar 80% dari total pendapatan SGRO hingga kuartal III-2024.
SGRO pun diuntungkan oleh harga jual rata-rata atau average selling price (ASP) CPO yang tumbuh 9% yoy menjadi Rp 12.548 per kilogram (kg) hingga kuartal tiga lalu.
Lantas, SGRO berusaha fokus menjaga kinerja penjualan dan produksi melalui kegiatan intensifikasi yang telah berjalan, seperti mekanisasi, water management system, peningkatan infrastruktur, dan digitalisasi.
“Upaya ini diharapkan dapat meningkatkan kinerja operasional perusahaan,” ujar Head of Investor Relation SGRO Stefanus Darmagiri, Senin (11/11).
Pihak SGRO masih melakukan penyusunan target produksi CPO pada 2025 nanti. Namun, produksi tandan buah segar (TBS) dari kebun inti SGRO diproyeksikan turun 10% pada tahun ini karena dampak El-Nino yang berlangsung tahun lalu.
Emiten lainnya, PT Cisadane Sawit Raya Tbk (CSRA) yakin peluang kenaikan harga CPO akan memacu berlanjutnya tren positif kinerja perusahaan tersebut, baik dari sisi top line maupun bottom line. Lonjakan harga CPO juga bisa mengkompensasi turunnya produksi komoditas tersebut akibat gangguan cuaca.
“Kami berhasil tumbuh dan terus mengusahakan agar kurva tetap berada dalam tren positif,” terang Direktur CSRA Seman Sendjaja, Senin (11/11).
CSRA akan senantiasa menjaga dan meningkatkan produktivitas dengan menerapkan Best Agronomy Practice yang telah berjalan di tiap kebun perusahaan.
Selain itu, jika tak ada aral melintang, maka dalam kurun kuartal III-IV 2025 nanti CSRA akan melakukan commisioning pabrik kelapa sawit (PKS) ketiga yang berlokasi di Banyuasin, Sumatera Selatan.
Kehadiran pabrik ini akan menambah kemampuan produksi CPO sehingga CSRA bisa memaksimalkan momentum kenaikan harga komoditas tersebut di pasar. (Kontan.co.id).