Badung – Sekretaris Jenderal Dewan Negara-Negara Penghasil Minyak Kelapa Sawit (CPOPC), Rizal Affandi Lukman mengatakan, pelaksanaan European Union Deforestation Regulation (EUDR) akan memberikan tekanan besar pada industri kelapa sawit.
Dia mencatat, sekitar 75 persen dari total ekspor Indonesia ke Uni Eropa adalah kelapa sawit.
“Dengan total ekspor sebesar itu, kata dia, implementasi EUDR akan membawa dampak yang besar dan kompleks bagi industri ini,” ujarnya dalam acara 20th Indonesian Palm Oil Conference and 2025 Price Outlook (IPOC 2024), Kamis, 7 November 2024, di Nusa Dua, Bali.
Rizal menyebut, EUDR mengharuskan produk sawit yang masuk ke Uni Eropa bebas dari jejak deforestasi dari tahap panen hingga ekspor.
Dalam semua tahap ini, semuanya harus terdokumentasi rapi dan sesuai dengan standar keberlanjutan. “Peraturan ini tak hanya memberikan tantangan administrasi, tetapi juga peningkatan biaya produksi yang signifikan,” ucap dia.
Rizal menjelaskan, regulasi ini memaksa perusahaan menerapkan transparansi dalam rantai pasok menggunakan teknologi yang tinggi, seperti analisis data geospasial, pembelajaran mesin, dan observasi bumi.
Menurut dia, hal ini akan memperkuat konsentrasi rantai pasok, sebab perusahaan besar yang mampu memenuhi standar tinggi akan lebih mendominasi. “Petani kecil berisiko terpinggirkan akibat aturan ini,” tuturnya.
Selain itu, kata Rizal, penerapan aturan ini juga dapat memicu pergeseran arus perdagangan global. Dengan aturan yang rumit, kata dia, perusahaan akan berkecenderungan mengalihkan pasar ke negara-negara yang memiliki regulasi yang lebih longgar.
Dia mencontohkan Cina dan India. “EUDR juga berpotensi menjadi acuan global, yang mendorong negara-negara seperti Inggris dan Amerika Serikat untuk mengadopsi aturan serupa,” ucap Rizal.
Sedangkan, kata dia, regulasi ini berdampak pada skema sertifikasi keberlanjutan seperti Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO). Oleh karena itu, aturan dalam negeri juga perlu disesuaikan agar diterima di pasar Uni Eropa.
Lebih lanjut, Rizal menyebut, klasifikasi risiko negara dapat menurunkan daya saing komoditas dari negara yanh dinilai berisiko tinggi.
“Ini menimbulkan diskriminasi dan mengurangi pangsa pasar global untuk sawit dari kawasan ASEAN, termasuk Indonesia,” kata dia.
Adapun EUDR merupakan mewajibkan perusahaan yang mengekspor produk tertentu ke Uni Eropa, memastikan bahwa produknya bukan berasal dari lahan yang telah mengalami deforestasi atau degradasi hutan setelah 31 Desember 2020.
Pada awalnya, rencana penerapan EUDR akan dilaksanakan pada akhir tahun ini. Namun, dengan mempertimbangkan persiapan dari industri sawit, implementasi EUDR ditunda hingga Desember 2025. (tempo.co).