JAKARTA-Indonesia dikenal sebagai produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Tingginya produksi minyak sawit dibarengi meningkatnya limbah pabrik kelapa sawit yang harus dikelola, salah satunya tandan kosong kelapa sawit (TKKS).
Ditulis Republika, selama ini TKKS banyak dimanfaatkan menjadi pupuk. Namun, masih belum banyak bentuk diversifikasinya. Dosen Departemen Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) IPB University, Siti Nikmatin, melakukan inovasi dengan membuat helm berbahan baku tambahan dari serat TKKS.
Produknya dinamakan helm ramah lingkungan atau green composite (GC). Dalam memproduksi helm, Siti bermitra dengan PT Intertisi Material Maju yang berlokasi di Kelurahan Bubulak, Kecamatan Bogor Barat, Kota Bogor. Produksi helm ramah lingkungan juga didukung oleh Badan Pengelolaan Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS).
CEO PT Intertisi Material Maju, Andika Kristinawati, menuturkan, ia ingin berkontribusi dalam membuat diversifikasi produk TKKS. Perusahaan yang digawanginya pun mulai mempelajari perusahaan rintisan (start up) di IPB Science and Techno Park sejak 2017. Sambil mengembangkan dan membangun perusahaan mitra binaan PT Surveyor Indonesia ini, Andika mulai memproduksi dan mengomersialkan helm ramah lingkungan ke masyarakat.
Menurut Andika, PT Intertisi Material Maju menggandeng PT Perkebunan Nusantara (PTPN) VIII di Jasinga, Kabupaten Bogor, untuk menyuplai TKKS. “Pengolahan TKKS pun dikerjasamakan dengan kelompok-kelompok tani di Jasinga, yang merupakan binaan dari PTPN VIII,” kata Andika saat ditemui Republika di Kabupaten Bogor, Senin (5/12).
Pada awal kerja sama, dia melanjutkan, para kelompok tani diberikan pelatihan terkait pengolahan TKKS. Selanjutnya, mereka bisa mengolah TKKS menjadi serat untuk menjadi bahan dasar helm. Produk tersebut berikutnya dikirimkan ke pabrik rekanan PT Intertisi Material Maju untuk diolah menjadi helm.
Sebelum menjadi helm proyek, untuk pesepeda dan maupun pengendara motor, kata Andika, TKKS harus menjalani berbagai proses. Awalnya, TKKS berbonggol besar diberai menjadi serat-serat panjang oleh para kelompok tani.
Biasanya pemberaian TKKS tersebut membutuhkan waktu sekitar satu hingga dua pekan. “Tergantung seberapa banyak pesanan yang diminta,” ujar Andika.
Setelah itu, hasil serat tadi dicampur dengan plastik polimer dan diekstraksi menjadi granule-granule kecil. Granule tersebut yang kemudian diinjeksi menjadi cangkang helm.
Andika mengatakan, cangkang tersebut melalui proses pengecatan dan baru dipasang berbagai elemen penguat untuk selanjutnya bisa dilepas ke pasaran.Yang pasti helm ini bio composite, bukan sekadar polimer.
“Yang pasti helm ini bio composite, bukan sekadar polimer. Berpenguat serat alam, dan kita berkontribusi dalam pengurangan limbah TKKS. Hasil ujinya juga lebih bisa meredam benturan,” kata Andika menjelaskan keunggulan helm GC ini.
Andika mengaku mendapat penjelasan dari tim peneliti kalau helm yang bagus bukanlah helm yang tidak pecah ketika terjadi benturan. Namun, helm berkualifikasi bagus jika tidak meneruskan energi tumbukan ke kepala penggunanya. Dalam arti lain, dapat meredam energi dari luar.
Sejak 2017 hingga saat ini, helm GC sudah diperjualbelikan ke hampir seluruh Indonesia dari Sabang sampai Merauke, baik melalui pesanan satuan maupun pre order (PO). Bahkan, pada masa pandemi Covid-19, helm yang dijual di kisaran Rp 70 ribu-Rp 350 ribu tersebut sempat dipesan sebanyak 5.000 buah untuk komunitas pesepeda. “Paling mahal helm motor full face dan paling murah ialah helm proyek,” kata Andika.
Saat ini, Andika melanjutkan, masih banyak inovasi yang dilakukan peneliti IPB. Nantinya TKKS bisa dijadikan bahan pembuatan rompi antipeluru, benang pilin, hingga pengolahan serat batang pisang. Sebagai alumnus IPB, Andika pun siap mewujudkan inovasi riset peneliti dari almamaternya tersebut.