Jakarta – Minyak kelapa sawit mentah atau minyak sawit mentah (CPO), komoditas andalan ekspor nonmigas Indonesia, diyakini mampu mempertahankan momentum penguatan harga hingga kuartal I-2025.
BMI, lengan riset Fitch Solutions Group, merevisi ke atas prakiraan harga untuk kontrak berjangka CPO bulan ketiga yang terdaftar di Bursa Malaysia; dari MYR3.850/ton menjadi MYR4.050/ton pada tahun 2024 dan dari MYR3.650/ton menjadi MYR3.900/ton pada tahun 2025.
Sepanjang tahun ini hingga 4 November, kontrak CPO dipasarkan di tingkat rata-rata MYR3.990/ton, naik dari rata-rata tahun berjalan atau year to date (ytd) di level MYR3.952/ton sejak publikasi Outlook harga yang dilansir BMI sebelumnya pada 20 Agustus.
“Memang, hingga akhir September, harga minyak sawit rata-rata ytd adalah MYR3.937/ton, sejak saat itu perkembangan harga yang kuat telah memberikan tambahan MYR53/ton ke rata-rata ytd,” papar tim analis BMI dalam laporan terbarunya, dikutip Rabu (13/11/2024).
Kontrak CPO naik ke MYR4.891/ton pada penutupan 4 November, harga akhir sesi tertinggi sejak 30 Juni 2022. Antara 1 Oktober—saat harga minyak sawit adalah MYR3.995 per ton — dan 4 November; kenaikan harga kumulatif CPO mencapai 22,1%.
Pada periode yang sama, nilai tukar US$/MYR naik dari 4,1215 menjadi 4,3760, setara dengan depresiasi ringgit Malaysia sebesar 6,2%, yang berkontribusi pada pergerakan harga minyak sawit.
Kontrak berjangka minyak Brent bulan depan yang terdaftar di NYMEX juga melonjak 8,8% antara 1 dan 7 Oktober, kemudian menurun, mencatat kenaikan kumulatif hingga 4 November sebesar 1,9%, yang juga mendukung harga minyak sawit yang lebih tinggi.
Sentimen Pasokan RI
Reli harga CPO juga berkaitan langsung dengan adanya kekhawatiran akan berkurangnya produksi di Indonesia dan Malaysia.
Pada 23 Oktober, Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) merilis pembaruan berkala mengenai kinerja sektor kelapa sawit RI, yang menampilkan persediaan domestik turun menjadi 2,45 juta ton, setelah anjlok ke level terendah dalam lima tahun terakhir sebesar 2,51 juta ton pada bulan sebelumnya.
Angka persediaan CPO Indonesia pada Agustus 24,3% lebih rendah dari bulan yang sama tahun lalu.
Gapki juga mengumumkan curah hujan di bawah rata-rata pada tahun 2023 akan memuat produksi minyak sawit 2024, dengan perkiraan bahwa produksi akan mencapai 51 juta ton, sekitar 5% lebih rendah dari tahun 2023.
Senasib dengan Indonesia, data Dewan Minyak Sawit Malaysia (MPOB) menunjukkan persediaan CPO Malaysia pada bulan September mencapai 2,01 juta ton, lebih rendah 12,9% dari tahun sebelumnya.
Jajak pendapat Reuters pada 5 November menjelang rilis pembaruan MPOB berikutnya pada 11 November menampilkan persediaan Negeri Jiran menurun menjadi 1,92 juta ton pada Oktober, 21,5% lebih rendah dari levelnya pada Oktober 2023.
Oleh karena itu, produksi CPO Malaysia terlihat turun dari 1,82 juta ton pada bulan September ke level terendah dalam empat bulan sebesar 1,76 juta ton pada bulan Oktober.
Berdasarkan pendapat jajak tersebut, ekspor sektor minyak sawit Malaysia diproyeksi meningkat dari 1,54 juta ton pada September menjadi 1,63 juta ton pada Oktober.
Minyak Nabati Lain
Penguatan harga CPO belakangan ini juga turut dikontribusikan oleh kenaikan harga di seluruh kompleks minyak nabati lainnya.
Antara 1 Oktober hingga 4 November, harga kontrak minyak kedelai bulan kedua yang terdaftar di CBOT naik dari USc42,91/pon menjadi USc45,51/pon, setelah turun menjadi USc39,11/pon pada 16 September.
Kontrak berjangka kanola bulan kedua yang terdaftar di ICE naik dari CAD624/ton menjadi CAD645/ton, setelah dipasarkan pada harga akhir sesi sebesar CAD556/ton pada 13 September.
Harga ekspor minyak bunga matahari Ukraina (Chornomorsk, FOB) meningkat dari US$1.035/ton pada 4 Oktober menjadi US$1.165/ton pada 4 November, yang merupakan percepatan tren kenaikan yang terlihat pada 2024 hingga Oktober.
“Secara keseluruhan, rilis Indeks Harga Pangan FAO pada 4 Oktober menunjukkan peningkatan sebesar 4,6% secara bulanan pada komponen minyak nabati, yang naik ke level tertinggi dalam 21 bulan sebesar 142,4 poin pada bulan September,” papar BMI.
Kekuatan harga minyak nabati lainnya sejak pertengahan September mencerminkan prospek yang lebih ketat untuk neraca produksi, karena penurunan musiman dalam produksi CPO telah diperparah dengan tantangan produksi biji minyak, seperti hambatan terhadap produksi biji rapa di Uni Eropa.
(Bloomberz.com).