JAKARTA – Indonesia merupakan produsen utama kelapa sawit di dunia.
Meski demikian, tata kelola sawit kita belum optimal.
Tak pelak, akibat tumpang tindih lahan sawit dengan lahan hutan sampai kebijakan perizinan terkait budidaya dan peremajaan sawit rakyat (PSR) menyebabkan kerugian ekonomi hingga Rp 279,1 triliun per tahun seperti hasil kajian Ombudsman RI.
Ombudsman merinci, kerugian dari aspek pemanfaatan lahan yang banyak tumpang tindih mencapai Rp 74,1 triliun.
Kemudian dari aspek terkendala integrasi kebijakan dan perizinan dalam bentuk Surat Tanda Daftar Budidaya (STDB) dan PSR sebesar Rp 111,6 triliun.
Selain itu, aspek tata niaga terkait kualitas bibit yang tidak sesuai ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) dengan potensi kerugian sebesar Rp 81,9 triliun, serta aspek kehilangan yield/keuntungan akibat grading tidak sesuai standar kematangan tandan buah segar (TBS) sebesar Rp 11,5 triliun per tahun.
Atas dasar itu, Ombudsman mendorong pemerintah untuk melakukan perbaikan terkait tumpang tindih lahan dan kebijakan perizinan, serta PSR.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Eddy Martono mengatakan, perlu penyelesaian terhadap hambatan yang ada saat ini sehingga menyebabkan lambatnya target PSR.
“PSR harus dievaluasi, contoh masalah lahannya yang tumpang tindih dengan kawasan hutan seperti hasil audit Ombudsman,” katanya kepada Kontan.co.id, Senin (18/11/2024.
Ketua Kompartemen Kebijakan & Sosialisasi Program PSR) Gapki, Muhammad Iqbal bilang, terkait target PSR yang meleset banyak penyebabnya seperti yang diungkap Ombudsman.
“Target pola kemitraan PSR tidak tercapai. Tahun ini targetnya dari Kementan sebanyak 20.000 tapi hingga Oktober baru terelisasi 3.807 pohon,” sebutnya.
Iqbal mengungkapkan, Gapki sudah berkirim surat ke Kementan tertanggal 22 April 2024 mengenai hambatan PSR di jalur kemitraan. “Sejauh ini belum ada tindak lanjutnya, namun informasinya akan ada revisi permentan soal PSR,” ujarnya.
Dalam surat yang ditujukan ke Kementan tersebut, Gapki melaporkan hambatan-hambatan yang menyebabkan realisasi PSR pola kemitraan sangat minim.
Beberapa penyebabnya antara lain, pertama, sulitnya petani perkebunan mendapatkan Surat Keterangan/Rekomendasi bahwa lahan yang diusulkan tidak di dalam kawasan Hutan dan HGU.
Kedua, adanya lahan petani mitra yang masuk di dalam Kawasan hutan. Ketiga, adanya Kelompok Tani/Gapoktan/Koperasi dan Satker diperiksa oleh Aparat Penegak Hukum (APH). Keempat, adanya alasan hak tanah petani calon peserta yang diagunkan.
Kelima, sertifikat hak milik (SHM) petani calon peserta beda nama sehingga kesulitan untuk dana pendamping.
Keenam, harga TBS relatif cukup tinggi dan kebun masih berproduksi, sehingga petani menolak peremajaan.
Ketujuh, banyak pimpinan perusahaan yang masih cemas kalau menjadi terperiksa oleh aparat penegak hukum karena menandatangani Surat Pernyataan Kebenaran dan Kesesuaian data pengajuan. (kontan.co.id).