JAKARTA-Sebagai negara utama penghasil kelapa sawit dunia, sangat penting bagi Indonesia untuk mendorong adanya satu kesepahaman yang sama dalam kemitraan strategis dan kolaborasi semua pihak dalam rangka mewujudkan keberlanjutan sawit Indonesia.
Hal itu disampaikan Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman saat memberikan kata sambutan pada Workshop dalam rangka Rembug Tani Nasional III tahun 2023 yang dilaksanakan Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) di Jakarta, Kamis, 31 Agustus 2023.
Sawit sebagai komoditas strategis telah menyumbang terhadap kebutuhan minyak nabati dunia hingga mencapai 22 persen. Namun, Indonesia diharapkan tidak hanya menjadi penyedia bahan mentah minyak nabati dunia agar kelapa sawit memiliki nilai ekonomi yang lebih tinggi, salah satunya melalui hilirisasi.
Mantan Direktur Jenderal Bea dan Cukai itu menjelaskan jika saat ini pemeritah telah menerbitkan berbagai kebijakan dengan tujuan untuk mendorong hilirisasi industri kelapa sawit yang dapat memberikan nilai tambah kepada petani dan masyarakat Indonesia.
Dia menambahkan sekitar setengah perkebunan kelapa sawit Indonesia merupakan sawit yang dikembangkan secara swadaya oleh masyarakat yang tersebar dari Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawei, Malulu hingga Papua. Dinamika itu memberikan tantangan tersendiri dalam mendorong hilirisasi kelapa sawit.
Sebab, petani kelapa sawit swadaya memiliki banyak tantangan dalam menjalankan sawit mereka. Beberapa masalah yang muncul a.l masalah rantai pasok dari perkebunan hingga ke pabrik, infrastruktur yang kurang memadai, produktivitas yang relatif rendah dan kurangnya pengetahun petani swadaya terhadap praktek pertanian yang baik serta akses yang terbatas terhadap teknologi maupun sertifikasi.
Masalah tersebut, katanya, sangat penting untuk diatasi dengan solusi yang efektif dan strategis, salah satunya melalui strategi industri integrasi dari hulu hingga hilir, salah satunya melalui mandatori biodiesel.
Asisten Deputi II Kantor Menko Perekonomian Adi Yusuf mengatakan Indonesia memiliki potensi sumber energi terbarukan yang sangat besar dan perlu dioptmalkan untuk meningkatkan perekonomian di berbagai sektor serta mengurangi ketergantungan energi fosil.
Mantadotori biodiesel menunjukkan hal yang sangat baik, salah satunya dapat mewujudkan penghematan devisa negara. Pada tahun 2022, akibat program biodiesel, terjadi penghematan devisa negara sebesar Rp122,65 triliun, dan memberikan nilai tambah terhadap CPO sebesar Rp12,2 triliun.
Setelah B-35, makan akan dilanjutkan menjadi B-40 sehingga hal ini akan semakin mengukuhkan Indonesia sebagai produsen utama biodiesel dunia. “Ini suatu prestasi Indonesia yang patut untuk kita apresiasi. Dengan mandatori B-35, kebutuhan CPO semakin meningkat serta mampu menyerap CPO Indonesia sehingga mendongrak harga TBS di tingkat petani,” katanya.
SPKS yang diketuai Darto Wojtyla tersebut melaksanakan Rembug Tani Nasional III dengan sejumlah rangkaian kegiatan, salah satunya adalah Workshop Pemanfaatan TBS Petani Sawit Swadaya Melalui Kemitraan dalam Mendukung Program Biodiesel sebagai Sumber Energi Transisi Berkelanjutan di Indonesia.
Workshop tersebut menghadirkan sejumlah narasumber antara lain Direktorat Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi Kementerian ESDM, Kantor Staf Presiden, Pertamina, BPDPKS dan Koalisi Transisi Bersih, Gapki, Aprobi, Ditjen Perkebunan, Asosiasi Kabupaten Penghasil Sawit, Komisi IV DPR RI.
Tampak hadir di lokasi acara Direktur Utama BPDPKS Eddy Abdurrachman, Asisten Deputi II Kantor Menko Perekonomian Adi Yusuf, Ketua SPKS Darto Wojtyla, Tokoh Perkebunan dan Pembina Aspekpir Gamal Nasir, Wakil Ketua Aspekpir Agus Sutarman.
Pada saat yang sama, juga dilaksanakan penandatangan Memorandum of Understanding (MoU) antara SPKS dengan sejumlah pemerintah yakni Kabupaten Aceh Utara, Siak, Sanggau, Mamuju Tengah dan Labura tentang Percepatan Sawit Rakyat Berkelanjutan dan Dukungan Implementasi RAD Sawit.